Posted by : Moneta Rabu, 02 April 2014

Oke, kali ini gue datang lagi setelah sekian abad kagak nge-pos sesuatu. kali ini gue masukin cerpen lagi, berhubung beberapa bulan yang lalu gue ikut lomba cerpen dan Alhamdulillah masuk 30 besar. Yah, gak masuk 3 besar sih, tapi seenggaknya gue merasa seneng bisa dibukuin XD
Oh iya, yang atu ini ceritanya agak nyambung ke tempet gue tinggal, Bangka Belitung -_- kalau ada beberapa kata yang bikin pusing. maafin yak


Rumahku Menghilang
Karya : Moneta

Aku memejamkan mataku sejenak, menyesap dalam aroma hujan yang sedari tadi begitu jahil menelusup memasuki hidungku. Wangi tanah yang menyebar karena terpaan hujan adalah salah satu kesukaanku, entah kenapa terasa sejuk sekali setiap kali aku menghirupnya. Detik berikutnya mataku telah terbuka, dengan kepala yang sedikit menengadah untuk mempermudah retinaku menangkap warna abu di langit. Pikiranku sedikit melayang, menghayati panorama alam di tengah hujan yang terasa menenangkan dan menghanyutkan.
Aku berdehem pelan, lalu berdiri dari posisi jongkokku di bawah pohon jambu yang menjadi tempat singgahanku. Kuregangkan otot-otot punggungku, sekadar mencari kenyamanan untuk kegiatanku selanjutnya, pulang.
“Hujan sudah berhenti,” lirihku pelan dengan sebuah senyuman. Mataku menangkap cahaya-cahaya matahari yang begitu indah menyelip keluar di antara awan abu-abu, perlahan mengembalikan kecerahan langit siang.
Sesaat sebelum menjangkau sepeda ontel-ku, aku melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelanganku, bergumam pelan melihat jarum pendek dan panjang yang sama-sama menunjuk angka 2. Aku mendesah pelan, mensyukuri akan kegiatan para guru yang memulangkan murid sekolahan sepertiku lebih cepat dari biasanya, tapi fakta bahwa hujan sempat menghambat jalan pulangku sedikit membuatku jengkel. Bagaimana tidak, rumahku ada di Desa Kurau, tapi aku bersekolah di salah satu Sekolah Menengah Atas di Desa Penyak. Jarak antara keduanya sekitar 7 kilometer, dan aku yang merupakan anak dari keluarga sederhana ini hanya mempunyai sepeda ontel tua milik ayahku sebagai sarana bersekolah.
Aku telah siap dengan sepedaku, menaikinya dengan susah payah dan perlahan mengayuhnya. Kayuhanku kian cepat, membiarkan hawa dingin selepas hujan membelai wajahku lembut. Terasa dingin dan menyejukkan, juga membuat bau tanah semakin menggelitik indera penciumanku.
Aku melirik ke sebelah kiriku, air sungai yang mengalir tenang ikut membuatku tenang, rintik sisa hujan yang masih jatuh juga semakin membuat keadaan siang ini begitu tenang dalam kelamnya langit. “Hah...” Kuhelakan napasku pelan, mensyukuri nikmat Tuhan yang sekarang begitu membuaiku.
Tak terlalu lama aku mengayuh kencang sepedaku, hanya perlu 10 menit bagiku untuk sampai di rumah. Ya, itu karena sebenarnya aku tadi telah berada di pinggir sungai Kurau, yang intinya aku telah berada di desa tempatku tinggal.
Kuletakkan sepedaku di  sebelah rumah, di  bawah pohon mangga yang tumbuh begitu subur dan rindang.
“Vani!” Tubuhku terhentak kuat, seakan-akan tersambar sebuah sengatan listrik bertekanan rendah saat merespon panggilan itu terlalu kuat. Aku memutar kepalaku, menggerakkan bola mataku liar mencari sang penyeru namaku. Detik berikutnya, kutangkap bayangan seorang gadis kecil berambut ikal tengah berlari manis menuju tempatku berdiri, sesekali ia menjerit ketika kakinya menginjak genangan air.
“Kenapa, Ra?” tanyaku sambil melempar senyum. Ia, teman mungilku yang bernama Ira kini tengah mengatur napasnya yang terus menderu dan begitu rakus memakan oksigen.
“Kamu menang lomba artikel!” seruan kegembiraan yang ia ucapkan spontan membuatku terlonjak. Mataku membulat tak percaya, napasku tercekat tuk sesaat, bahkan menelan ludah pun terasa sulit bagiku. Aku menatap gadis mungil itu dalam, berusaha mencari kebohongan yang mungkin luput dari penglihatanku.
Bener?” tanyaku memastikan dan anggukan yang diiringi senyuman keyakinan itu benar-benar telah membuatku melompat senang sambil sesekali memeluk sahabatku itu.
Pikiranku mengambang, menerawang masa lalu dimana satu minggu yang lalu aku mencoba mengikuti lomba artikel remaja tingkat kabupaten. Saat dimana aku membuat sebuah artikel mengenai kebersihan lingkungan. Saat dimana aku termenung di bawah pohon jambu di pinggir sugai Kurau hanya untuk memikirkan dan menenangkan pikiran mengenai keberhasilanku mengikuti lomba itu. Dan sekarang semua itu terbalas dengan fakta yang menyambutku, bahwa aku berhasil lolos masuk lomba tingkat provinsi.
“Beneran lho Ra. Kamu gak bohong, kan? Siapa yang mengatakannya?” Kutanyakan kepastian itu sekali lagi, menanyakan padanya apakah ia berbohong atau tidak. Jika tidak, siapa yang memberikan informasinya? Aku ingin sebuah kejelasan sekarang, setelah terbang tinggi tiba-tiba tubuhku terasa mengambang di atas lautan yang mengombang-ambingkan tubuhku secara tidak pasti.
Bener. Bu Linda yang kasih kabar. Tadi Ibu Linda menelponku, katanya kamu menang. Dan... oh, katanya kau harus bersiap-siap karena akan mengikuti lomba tingkat provinsinya besok di Pangkalpinang. Kalian yang menang akan menginap selama 2 hari 1 malam,” kata Ira sambil melayangkan huruf ‘v’ di depan wajahku dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Mataku berbinar senang. Aku telah dipastikan masuk ke tingkat provinsi oleh guru bahasaku, Bu Linda dan besok aku akan pergi ke kota Pangkalpinang untuk mengikuti lombanya. Tunggu, aku akan menginap 2 hari 1 malam? Bukankah itu artinya aku sudah harus berbenah diri?
“Aku mau beres-beres dulu!” seruku girang, mengatakan padanya dengan penuh semangat bahwa aku ingin membereskan barang-barangku terlebih dahulu, menyiapkan segala hal untuk pergi ke kota Pangkalpinang besok pagi.
“Besok kalian akan dijemput di sekolah, dan pukul 7 sudah siap berangkat,” celetuk Ira yang membuatku melongo kaget. Besok akan dijemput di sekolah dan berangkat pukul 7 pagi? Cepat sekali. Tidak, aku tidak boleh manja. Berarti aku harus buru-buru untuk berbenah diri sekarang.
“Makasih,” teriakku kuat sambil berlari memasuki rumahku, membiarkan suara kakiku yang beradu dengan semen terus menulikan pendengaranku.


Aku menatap ke luar lewat jendela bus yang berwarna biru muda, mengembangkan senyumanku akan kebanggan yang kini kugenggam. Aku sebagai salah satu dari lima anak dari Provinsi Bangka Tengah telah berhasil memenangkan lomba artikel dan akan diundang ke kota Pangkalpinang untuk mengikuti lomba tingkat provinsi, bukankah itu menyenangkan?
Aku berdehem pelan, melantunkan sebuah lagu khas Bangka dengan begitu lembut. Terus kunyanyikan lagu itu hingga akhirnya mataku tertutup karena kantuk yang menyerang. Aku tak tahu berapa lama aku tertidur, atau lebih tepatnya aku tak tahu seberapa lama waktu yang dimakan untuk mencapai kota Pangkalpinang dari desa tempatku tinggal, Desa Kurau.
Lah sampai.” Sebuah jeritan tertahan menyadarkanku. Segera kubuka paksa kelopak mataku untuk mempersilahkan mataku menatap sekitar. Aku dapat melihatnya, beberapa anak sedang berebutan turun dari bus dengan tas yang mereka jinjing di bahu mereka. Aku mengerang pelan, lalu mulai memaksakan otot-otot tubuhku untuk bergerak mengikuti mereka.
Entah angin apa yang membawa semangatku pergi. Apakah ini karena rasa penat yang alami karena semalam terlalu semangat berbenah diri hingga pagi ini aku begitu lemah dan lelah? Entahlah.
Kutatap sekelilingku saat merasakan sebuah angin kencang membanting tubuhku kuat. Sebuah bau asin perlahan menyusup hidungku, membuat mataku sekarang sepenuhnya telah terbuka. Sekali dua kali kukerjapkan mataku cepat, berusaha untuk membuang semua debu yang menghalangi pandanganku. “Pantai Pasir Padi?” tanyaku pada diriku sendiri, sedikit kikuk dan senang, kutatap pemandangan pantai yang begitu indah terpampang di hadapanku. Hatiku menjerit bahagia, senang dengan keadaan yang menyambutku sekarang. Sudah lama sekali sejak aku pergi ke pantai ini terakhir kali, kalau tidak salah 6 tahun yang lalu saat aku masih berumur 9 tahun.
“Oi, Vani, cepet men lah, kita lah nek masuk ke kamar (Cepetan, kita udah mau masuk kamar),” panggilan dari teman baruku pagi tadi menyadarkanku. Segera aku berlari mendekatinya yang sedang memasuki sebuah gedung, sebuah hotel lebih tepatnya karena aku tahu jadwal sekarang adalah kami akan memasuki kamar kami masing-masing.
Bercengkerama dengan beberapa teman baru dari berbagai kabupaten sangat memuaskan hasrat bertanyaku. Berkali-kali kulontarkan pertanyaan pada mereka mengenai daerah-daerah tempat mereka tinggal. Tapi, sebuah kekecewaan menyeruak dalam hatiku ketika kusadari tatapan mereka yang begitu merendahkanku, tatapan dan ekspresi yang mereka keluarkan seakan-akan merasa jijik padaku, tak banyak dari mereka yang justru menjauhiku.
“Hah!” Aku menghela napas pelan, kecewa akan diriku sendiri yang sepertinya baru saja menjadi pengganggu bagi mereka. Kutatap kertas yang baru saja diberikan pada setiap peserta, melihat jadwal kegiatan yang tertera hari ini. Hari ini kami akan diajak untuk berkeliling kota Pangkalpinang dan mengadakan olahraga sore di pantai, besok kegiatannya tak banyak dan hanya sebentar mengadakan olahraga pagi di pantai, mendapatkan sosialisasi mengenai cara membuat artikel yang baik dan benar, pelaksanaan lomba selama 2 jam dan terakhir adalah pengumuman juara.
Kuatur napasku sejenak, menghilangkan pikiran aneh yang terus berkelebat di kepalaku, pikiran aneh mengenai diriku yang diasingkan dalam waktu kurang dari setengah jam oleh teman-teman baruku. Detik berikutnya, kakiku telah terangkat dari ruang santai hotel. Aku berjalan pelan, tak tentu arah karena pikiranku yang masih kacau, awalnya ingin kembali ke kamar, tapi kubatalkan.
“Oi, kanti ku ke WC yo (Eh, temenin ke WC dong),” ajakku sambil menepuk pundak seorang gadis yang tadi kuajak bicara, memintanya untuk menemaniku ke toilet. Ia tersentak, lalu memutar tubuhnya untuk menatap wajahku. Kacamata bingkai kotak yang gadis itu pakai sedikit merosot. Sesaat ia merapikannya, barulah ia menyahut kalimatku. “Maaf?” katanya pelan.
“Eh?” aku justru menyahutnya dengan satu kata aneh yang menyiratkan sebuah kekagetan dan kebingungan.
“Maaf, aku gak ngerti kamu ngomong apa. Bisa ngomong pakai bahasa Indonesia?” tanyanya sambil mengerutkan dahinya. Dahiku pun ikut berkerut, merasa malu akan tindakan yang baru saja kulakukan. Tidak sopan sekali aku ini.
“Ah, tidak apa-apa, kok,” balasku sambil tersenyum. Setelah itu aku mulai berjalan menjauhinya, pergi sendiri menyusuri koridor hotel yang lumayan sepi menuju toilet.


Aku kembali mengembangkan senyumku, waktunya berkeliling kota Pangkalpinang telah datang. Anak kampung sepertiku pasti akan sangat senang jika bisa pergi berkeliling kota yang telah lama tak kukunjungi dengan biaya gratis.
Pikiranku kembali melayang, menampakkan angan-angan yang begitu jahil membayangkan situasi kota Pangkalpinang saat ini. Ayahku mengatakan bahwa Pangkalpinang adalah tempat yang indah, penuh dengan lingkungan hijau yang menyejukkan, kebersihan yang begitu terjaga, orang-orang yang ramah dan murah senyum, juga kebudayaan-kebudayaan Bangka Belitung yang begitu kental dan tersebar luas di seluruh penjuru.
Namun, kenyataan yang kudapat sungguh membuat lidahku kelu. Tak ada teriakan senang dalam diriku, yang ada hanyalah seruan kekecewaan akan fakta terbalik yang kudapat. Kota yang katanya begitu indah ini terlihat begitu kotor akan sampah. Kota yang katanya orang-orangnya ramah dan murah senyum, dan juga adat Melayu dan Tionghoa yang terasa kental ini ternyata kini hanya menjadi mimpi belaka. Yang kulihat sekarang adalah anak-anak remaja yang begitu kasar, seenaknya menampakkan tubuh mereka, begitu berusaha membuat orang untuk ‘mengemis senyum’ pada mereka.
Warung makanan yang berdiri di pinggir jalan tak satu pun milik Bangka. Semuanya adalah cafe-cafe modern, restoran orang-orang kaya, juga warung nasi luar daerah. Bukannya aku tak senang dengan kemajuan yang begitu pesat itu, tapi entah kenapa aku merasa sedih mendapati kenyataan bahwa hanya segelintir orang yang mendirikan warung makan khas Bangka Belitung. Itu semua terkesan seakan mereka mengesampingkan tata krama rumah mereka sendiri, padahal kurasa di desaku tak seperti ini.
Ayahku mengatakan padaku bahwa di Pantai Pasir Padi nyanyian-nyanyian lagu khas Bangka Belitung yang menyejukkan itu akan selalu terdengar merdu di telinga setiap orang. Tapi, kenyataan yang kudapat adalah setiap detik yang kudengar hanyalah lagu-lagu aneh yang terasa menekan-nekan dadaku. Begitu berisik dan menusuk, seakan-akan memukul kepalaku begitu kuat. Lagu-lagu aneh yang tak kuketahui maknanya. Sama sekali tak ada unsur kelembutan di dalam lagu itu, hanya kasar dan keras.
Sejauh mata memandang hanyalah gadis-gadis berpakaian minim tengah bermesraan dengan banyak laki-laki. Jika dulu anak-anak Bangka Belitung begitu alim dan sopan, sekarang terasa kebalikannya. Mereka begitu berani mengumbar diri di depan publik.
Kekecewaanku kian mengembang kala kudapat fakta bahwa anak-anak yang mengikuti lomba artikel ini ternyata tak mengetahui adat-adat kesopanan Bangka Belitung, termasuk bahasa daerah yang begitu kental ini. Mereka seenaknya mencapur adukkan bahasa daerah Bangka Belitung dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, membuat bahasa Bangka Belitung terasa begitu aneh dan asing di telingaku.
Makanan yang kumakan di hotel terasa hambar, sama sekali tak berasa dengan perasaan aneh yang sedikit menekanku. Aku tak tahu kenapa terasa begitu hambar, apakah itu karena kerusakan pada indera pengecapku atau memang makanannya yang tak berasa.
Tatapan norak kembali dilemparkan orang-orang padaku, mungkin karena pakaian lusuh yang kupakai hari ini. Tapi, aku terus menepis dan mengabaikannya, toh kemeja putih dan rok abu-abu ini masih layak untuk kukenakan.
Keesokan harinya justru semakin parah. Tak ada satupun anak yang mau meladeniku, aku justru mendapat kabar bahwa mereka mengataiku ‘gadis tak tahu malu’, ‘gadis norak’, ‘lebay’, dan segala panggilan dengan unsur mengejek, terutama pada tingkah dan bahasa Bangka Belitungku yang begitu kental.
Saat olahraga pagi aku begitu sulit mencari teman, saat sarapan aku hanya duduk sendiri sambil mendengar lagu-lagu yang kembali terasa aneh dan asing di telingaku. Kegiatan hari ini yang membuatku tenang hanyalah sosialisasi artikel yang begitu serius dan menyenangkan.
Selepasnya dari sosialisasi yang begitu menyenangkan itu, kami diberikan waktu istirahat. Yang pertama kali kulakukan adalah meregangkan tubuhku yang menegang dan membiarkan air segar mengalir di tenggorokanku. Walaupun aku dijauhi oleh orang-orang yang bahkan tak kukenal namanya, tapi untunglah aku masih mempunyai beberapa orang yang mau berbagi denganku.
Sulit bagiku tuk menentukan tema yang akan kugunakan dalam artikel kali ini. Kebebasan akan tema yang dipilih justru membuat pikiranku semakin berputar tak tentu arah. Ingin rasanya kugunakan tema yang sama dengan sebelumnya pada artikel yang jadwalnya setengah jam lagi harus dibuat, tapi setelah kupikir itu justru akan menurunkan kualitas dan nilai dari artikelku.
Lah dapet ide? (Sudah dapat ide?)” sebuah seruan menyapaku, menanyakan padaku apakah telah kudapatkan ide tuk artikelku kelak, dari teman sekamarku yang untunglah merupakan orang-orang yang masih menjunjung tinggi kebudayaan daerah.
Lom (Belum),” jawabku singkat sambil menggigit bibir bawahku dan menggelengkan kepalaku. Kudengar ia mendesah pelan, lalu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang di sebelahku.
“Pernah menari tarian nganggung??” Kusadari bahwa ia sedang membuka percakapan di antara kami.
“Pernah. Kenapa? Tapi aku agak kesal, soalnya anak-anak dari daerah sini banyak yang gak tau,” jawabku panjang lebar, sedikit menunjukkan kekesalanku bahwa banyak anak Bangka Belitung yang tak mengetahuinya..
“Pakai itu saja,” katanya kemudian.
“Pakai untuk apa?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi dan dahi yang kian berkerut bingung.
“Artikel.” Jawaban singkat itu kini telah mendesirkan semangat kegembiraan dalam hatiku.


Waktu membuat artikel telah lama selesai, kini para juri sedang mengadakan rapat untuk memilih juara dari puluhan anak yang ikut. Rasa was-was perlahan menyerangku, memacu adrenalinku agar mempercepat pompaan jantungku. Napasku pun perlahan menderu, merasa tidak sabar akan ungkapan yang nanti akan segera kudengar.
Kini aku tengah duduk sambil mencengkram erat rok di bagian lututku, menatap nanar pada panggung besar yang bertuliskan ‘Lomba Artikel Tingkat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung’ yang terpampang jelas di depan.
“Halo!” Tubuhku tersentak pelan saat sebuah panggilan menyambut telingaku. Aku menolehkan kepalaku, menatap seorang laki-laki berkumis yang tengah tersenyum padaku. Ia menjulurkan tangannya, dan kusambut dengan sebuah salam formal.
“Namanya Vania?” tanya orang itu. Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. “Dari Desa Kurau?” tanyanya sekali lagi dan aku kembali membalasnnya dengan anggukan singkat. “Em, nama saya Agus. Salah satu dari pihak Bangka Belitung newspaper ingin mewawancarai adik sebentar, boleh?” tanyanya sopan. Aku menelan ludah, merasa gugup dengan tawaran wawancara itu.
“Boleh,” jawabku singkat sambil tersenyum simpul.
“Ehm, pertanyaannya cuma satu dan nggak panjang kok. Kamu waktu ikut lomba tadi apa yang kamu tuliskan dan garis besar dari isinya?” kata Om Agus sambil menyiapkan alat tulisnya.
Aku menarik napas sejenak, berusaha memikirkan kembali apa yang tadi sempat kutuangkan. “Ehm,” aku berdehem pelan, lalu kembali melanjutkan kalimatku dengan pandangan mata ke arah kiri, sedikit merasa gugup dengan wawancara ini. “Saya menceritakan mengenai adat-adat dari Bangka Belitung yang sepertinya sudah begitu jarang muncul di daerah kita ini, atau bahkan yang lebih parahnya hampir menghilang. Sejujurnya, saya sedikit menumpahkan emosi saya dan amarah saya dalam artikel saya, yaitu kenyataan bahwa semakin hari teknologi modern yang masuk ke Babel justru membawa Babel pada keterpurukan. Makanan, lagu, tarian, sopan santun dan semua hal yang begitu khas dengan Babel sekarang benar-benar langka, maka dari itulah saya mengambil tema dan menceritakan semua itu dalam artikel saya. Mengenai kenyataan pahit yang tersembunyi dibalik nama harum Bangka Belitung,” jawabku cepat dengan gugup yang kian memuncak.
“Wah, temanya bagus sekali, Dik. Kalau boleh tahu, apa judulnya?” tanya Om Agus sekali lagi sambil mencatat apa yang kuucapkan.
“Rumahku Menghilang.”
Rumahku menghilang, menyatakan bahwa rumahku, yaitu Babel, adat istiadat Babel telah menghilang dari kehidupan orang-orang Babel.
Setelah kuberitahukan judul dari artikelku, Om Agus menjauh dengan senyuman dan sebuah rasa terima kasih. Aku hanya bisa mengatur napas sambil mengibas-ngibaskan tanganku di leher, merasakan sedikit sensasi dingin dari terpaan angin tanganku, walaupun sebenarnya AC di gedung ini benar-benar telah dingin.
Tadi ka ditanya ape? (Tadi kamu ditanya apa?)” bisik temanku.
Aku membalasnya dengan senyuman dan menjawabnya singkat,” Judul artikelku.”
Hening menyapaku setelah kujawab pertanyaanku. Aku hanya bisa membiarkan pikiranku kembali melayang dalam diam. Terus berdoa akan lomba yang membanggakan ini. Tentu saja, aku akan merasa bangga, orang tuaku, sekolahku, dan teman-temanku di Bangka Tengah juga.
Beruntunglah aku karena tak lama setelah aku menggalau akan artikelku, saat-saat untuk pengumuman juara disebutkan. Sambutan-sambutan singkat dikeluarkan, walaupun tak seluruhnya kudengarkan karena bagiku hanyalah basa-basi yang tak penting.
Juara yang diumumkan dimulai dari juara 3, dalam hati kuyakinkan bahwa juara tertinggi yang kudapat adalah angka itu. Tapi, sebuah kekesalan yang diiringi kesesalan menyambutku dengan luas. Memberikan tekanan kuat yang membuatku sekejap langsung tertunduk malu. Juara dua telah disebutkan, begitu juga dengan jauara satu yang diberikan sebuah teriakan dan tepukan tangan meriah.
Aku tetap menundukkan kepalaku, merasa malu dan menyesal, antara rela dan tak rela. Aku memejamkan mataku sejenak, berusaha mengatur pernapasanku yang kacau ketika juara lomba tadi selesai diumumkan.
“Dan ternyata kita punya sebuah kejutan.” Teriakan itu justru mengejutkan tubuhku, membuatku terlonjak kaget dan spontan menatap sang pembawa acara yang tengah menebar senyum di atas panggung. “Kita mempunya juara favorit, dimana sang pemenang ini adalah anak yang mempunyai artikel yang dianggap menarik dan sangat disukai oleh para juri,” lanjutnya. Aku sedikit terlonjak, sang pembawa acara itu ternyata adalah Om Agus.
“Baiklah, saya akan membacakan sebuah kutipan dari artikel tersebut, dan untuk yang merasa memiliki harap untuk maju ke depan dan berbaris bersama para juara.” Aku membelalakkan mataku kaget, menahan napas akan kalimat yang akan segera bergaung di ruangan besar ini. Susah payah kutelan ludahku, menahan rasa senang yang menyeruak dalam hatiku. Ini salah satu harapanku, bisa jadi akulah yang akan mendapatkan juara favorit ini. Aku harus yakin, aku harus optimis, aku harus percaya bahwa artikel buatanku bisa menjadi salah satu artikel yang disejajarkan dengan para juara.
Rumahku telah menghilang, menyisakan sebuah kenyataan pahit yang tersembunyi dibalik harumnya nama rumahku. Bangka Belitung telah menghilang, terbawa arus masa depan yang menyesatkan, menerbangkan keindahan yang dulunya begitu memikat. Kurasa rumahku masih dapat kulihat, namun sulit bagiku tuk memasukinya. Aku ingin tinggal di rumahku, di bawah naungan adat istiadat yang menentramkan. Bukan di luar rumah yang begitu mengerikan.” Mataku sukses membulat. Berkali-kali kucoba tuk menelan ludahku, tapi terasa begitu sulit. Napasku begitu sulit tuk kembali normal, begitu terpengaruh adrenalinku yang terpacu akibat kalimat itu.
“Ayo, untuk sang pemilik kutipan itu, Vania, silahkan maju!” Dengan sebuah senyuman yang tak henti-hentinya mengembang di bibirku, aku maju ke depan, berdiri sejajar dengan tiga orang pemenang yang ternyata adalah teman-teman sekamarku.
Kenangan ini telah terpatri di dalam diriku. Menjadi juara favorit yang direkomendasikan oleh orang-orang dan para juri sudah cukup memuaskan diriku, semua itu sudah cukup menenangkanku akan emosiku yang sebelumnya memuncak.
Tugasku kini tinggal satu, mencari rumahku yang menghilang. Mempertahankan kehadiran rumahku. Menjaga keharuman yang akan menutupi semua pahit dibaliknya. Melestarikan adat dan budaya yang begitu memikat ini. Kuharap aku bisa, dengan segelintir orang yang juga ingin rumah kami kembali. Yang ingin Babel tetap terekspos akan keindahannya, bukan akan keburukannya ataupun kemajuan yang meninggalkan keindahannya.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 My Simple Story - Gumi - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -