Posted by : Moneta Rabu, 07 Desember 2011


PERMINTAAN KECILKU
Karya Moneta

            Cahaya matahari mulai menerobos masuk ke pinggiran jalan dan seluruh seisi kota. Namun sayangnya, ia tak bisa menerobos masuk ke rumahku yang berada di bawah jembatan besar yang ramai yang sudah lama dibuat ini, cukup lama, bahkan sebelum negara ini merdeka.
Suara aliran air yang semakin deras perlahan mulai menyadarkanku dan membuat  mataku terbuka. Sayangnya, rasa kantuk yang sedari tadi menyerang tak bisa kulawan. Dengan perasaan malas kututup kembali mataku sepelan mungkin agar aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, suara batuk Emak yang semakin kuat membuat mataku terbuka lebar. Dengan cepat aku berdiri dari tempat tidurku yang terbuat dari tumpukan kardus menuju kamar Emak yang berada di sebelah kamarku.
“Mak!!! Emak sakit?! Udah minum obat?!” tanyaku histeris karena rasa takut dan khawatir yang bercampur.
“Nggak... uhuk...uhuk...” kata Emak yang tak berhenti batuk, bahkan semakin keras. “Emak gak apa-apa kok... uhuk...uhuk... Tadi... Emak udah minum obat! Uhuk.... gak usah khawatir!!!” lanjut Emak sambil mencoba berdiri.
“Emak mau ngapain?!” cegahku cepat sambil menidurkan kembali Emak. Ku dorong perlahan tubuh Emak ke belakang hingga kepala dan tubuhnya terbaring di atas kasur empuk yang sudah berdebu dan kotor.
“Emak mau masak! Kamu laparkan?!” kata Emak lembut. Aku terharu mendengar kalimat Emak, namun hal itu tak mungkin Emak lakukan. Tubuhnya yang melemah karena sakit tak mungkin bisa memasak lagi. Jangankan memasak, berdiri atau berjalanpun sangat sulit dilakukan Emak tanpa bantuanku. Lagipula, di dapur tak ada masakan apapun, paling hanya air putih yang ada di dalam cerek, 2 butir telur, dan nasi yang mulai terasa basi ---atau lebih tepatnya sudah basi. Semasa hidupku, aku hanya bisa memasak dan memakan telur yang harus kubeli dengan susah payah.
“Gak usah Mak! Agung udah makan kok,” kataku berbohong. “Tunggu sebentar ya Mak! Biar Agung masakin telor buat Emak,” Lanjutku sambil menyelimuti tubuh Emak  dengan kain kotor yang sudah tak layak pakai, dan sebenarnya kain itu lebih terlihat seperti kain lap kotor.
Emak hanya diam melihatku, mungkin Emak tahu kalau aku belum makan. Aku pura-pura tak melihat tatapan Emak dan terus berjalan menuju dapur yang jaraknya tak seberapa jaub.
Kulirik jam tanganku yang usang dan kotor. Sudah pukul 08.07 pagi. Ini adalah salah satu peninggalan almarhum Bapak. Jam tangan ini adalah jam tangan peninggalan almarhum Bapak  yang meninggal 6 tahun lalu gara-gara kecelakaan. Bapak meninggal akibat tertabrak truk ketika hendak menyelamatkan seekor anak kucing. Jika jam ini rusak atau kehabisan baterai, aku akan menemui kenalan Emak yang tukang jam dan memintanya untuk membetulkan jam ini. Tapi, jika memikirkan hal itu, ingin rasanya aku menangis dan menghabisi hidup ini. Tapi untuk apa? Jika aku mati siapa yang akan menjaga Emak yang sudah sakit-sakitan.
Saat tiba di dapur, aku langsung memanaskan minyak di atas panci yang bagian bawahnya sudah menghitam, namun butuh waktu berpuluh-puluh menit bagiku untuk menghidupkan api di atas kayu-kayu bakar yang sudah mulai menjadi arang ini. Saat api kecil mulai muncul di atas kayu-kayu bakar itu, air mukaku berubah. Betapa senangnya hatiku karena dapat menghidupkan api itu. Dengan cepat kuambil sebuah botol plastik berisi minyak tanah, kusiriami sedikit demi sedikit hingga apinya mulai membesar. Wajahku berseri-seri saking senangnya, namun dibalik senyuman dan kegembiraan itu ternyata air mataku perlahan membasahi pipiku. Semakin besar api itu menyala, semakin deras pula airmataku mengalir. Sekejap  muncul kalimat-kalimat keluhan yang terbersit di kepalaku dan entah mengapa langsung keluar lewat mulutku yang tak begitu jelas terdengar karena isak tangisku.
“Kenapa Bapak meninggal? Kenapa Emak sakit? Kenapa hidupku susah? Kenapa aku miskin? Kenapa......” Semakin banyak kalimat yang kukeluarkan semakin tinggi dan keras pula nada bicaraku, hingga tanpa kusadari aku terlalu banyak meneteskan minyak tanah ke kayu-kayu yang sudah terbakar bara api itu. Api cepat membesar dan cepat pula minyak dalam panci mendidih.
Langsung kupecahkan telur yang kupegang dan ku goreng di lautan minyak di atas panci itu. Entah sekarang aku sedang sial atau karena kecerobohanku, tiba-tiba minyak goreng yang mendidih di hadapanku itu membentuk balon di sebelah telur, langsung pecah dan memuncratkan banyak minyak, muncratan minyak itu terkena pipi, leher, lengan, jari, bahkan kakiku. Aku sempat merintih kesakitan,  dalam sekejap pipi, leher, lengan, jari, dan kakiku melepuh dan bernanah, sakit, namun tak membuatku menangis.
apa yang harus kulakukan dengan lukaku ini? batinku. Sebenarnya aku tak mencemaskan kesehatanku, namun sebenarnya yang ku cemaskan adalah kesehatan Emak. Bagaimana aku bisa memasak jika tanganku sakit? Bagaimana bisa aku mengamen jika tangan dan kakiku luka begini? Dan bagaimana bisa aku menemui Emak dalam keadaan penuh luka begini? Emak pasti khawatir, dan semakin aku sibuk dengan pikiranku sendiri luka-luka di tubuhku ini semakin membesar dan menimbulkan rasa perih dan sakit yang amat sangat tak tertahankan.
Sempat aku memikirkan untuk meninggalkan Emak dan langsung pergi mengamen. Namun, cepat-cepat ku buang pikiran itu. Untuk apa aku memikirkan itu? Umurku sudah 12 tahun dan aku harus bisa menjaga Emak. Tanpa memikirkan rasa sakit di tubuhku, aku melanjutkan memasak. Tapi sekuat apapun aku menahan, rasa sakit itu malah semakin menjadi-jadi.
Untunglah perjuanganku terbalaskan, akhirnya telur yang kumasak mati-matian itu dapat kusajikan pada Emak. Kusajikan telur itu bersama nasi kepada Emak. Semoga Emak senang, hanya itu yang kupikirkan. Kuberjalan menuju kamar Emak.
“Mak!!! Ini Mak... Agung udah masakin  Emak telor!” kataku lembut dan sopan. Emak tak menjawab. Rasa cemas bercampur takut melanda hatiku. Emak kenapa?
Dengan cepat ku letakkan piring yang berisi nasi dan telur yang kupegang di atas meja disebelah kasur Emak. Tanganku gemetaran, jantungku berdegup kencang, tubuhku berkeringat. Kupegang wajah Emak dengan tanganku yang melepuh, wajahnya berkeringat dan pipinya panas apalagi keningnya.
“Emak!!! Bangun Mak!!!” kataku histeris, dan tanpa kusadari airmata sudah membasahi pipiku. Emak masih tak menjawab, matanya yang masih terpejam itu membuatku ingin berteriak, namun untungnya beberapa saat kemudian mata sayunya mulai terbuka. Air muka-ku berubah, kutersenyum dan dengan cepat menyeka airmataku, saat itu juga aku langsung menutupi lukaku dengan kain yang ada di atas meja.
“Ada apa Gung?!” tanya Emak keheranan, namun suaranya yang sudah tua itu terdengar begitu berat, begitu sengal seperti tak bisa berbicara. Cemas, takut, dan khawatir kembali melanda hatiku.
“Emak sakit?!” tanyaku takut sambil melepaskan kain yang menutupi lukaku. Perlahan kain itu merosot, jatuh ke lantai dan mulai memperlihatkan luka-lukaku yang  menjijikkan. Air muka Emak dalam sekejap berubah, Emak mengernyitkan dahinya yang sudah keriput.
“Kenapa tubuhmu?!” tanya Emak khawatir. Emak mengibaskan selimutnya dan mengganti posisi tidurnya menjadi duduk.
“Emak jangan banyak gerak!” kataku khawatir namun lembut. “Gak apa-apa kok! Agung cuma kena cipratan minyak panas!” Lanjutku sambil menidurkan Emak kembali. Kupandangi wajah Emak yang sudah menghitam, keriput, dan benar-benar sudah tua. DASAR BODOH!!! Merawat Emak saja aku tak bisa! Sekarang aku sudah membuat Emak khawatir batinku kesal.
“Kamu kenapa sih Gung?!” tanya Emak lagi. Wajah tuanya membuatku ingin menangis, namun tetap kutahan. AKU INI LAKI-LAKI!!! AIR MATA BAGI LAKI-LAKI ARTINYA LEMAH!!! TIDAK.... AKU TAK BOLEH MENANGIS LAGI!!! batinku semangat.
“Mak! Makan yuk! Biar Agung suapin, ntar selesai Emak makan Agung bisa ngamen!” kataku lembut sambil duduk di sebelah Emak.
Kuganti posisi tidurnya menjadi duduk, Emak hanya kunaikkan kepala dan punggungnya dengan bantal-bantal yang kususun berdiri di belakang punggungnya agar Emak dapat tidur dengan tenang dan santai. Kuambil piring berisi nasi basi dan telur dingin yang ada di atas meja di sebelahku. Tanganku yang masih gemetaran memotong kecil telur itu dan menyendok sedikit nasi. Kuangkat perlahan sendok itu agar nasinya tak tumpah dan langsung kusuapi Emak makan.
Emak terus kusuapi dengan nasi basi dan telur dingin itu. Aku hanya bisa diam, menyuapuapi Emak dan melihat dengan rasa haru. Emak sudah tua dan sakit-sakitan, tapi aku malah memberinya makanan yang sudah dingin bahkan basi. Tapi asalkan Emak bisa makan dan tersenyum, itu saja sudah cukup, sekalipun aku harus mengamen di tengah hari dan tak makan seharian.
Setelah selesai menyuapi Emak makan, aku berdiri membantu Emak minum dan menaruh piring dan gelas kotor ini di dapur. Aku kembali memasuki kamar Emak membantunya berbaring kembali dan langsung menyuruhnya tidur.
“Mak, Agung mau ke tempat Mbak Rika dulu, nanti kalau sudah selesai, Agung bakal pulang kok!” Kataku lembut sambil menyelimuti tubuh Emak yang sudah tua.
“Hati-hati ya nak!” Nasehat Emak sambil menutup matanya yang sayu. Sepertinya Emak sudah tidur saat aku keluar kamar. Aku tersenyum melihat wajah tenang Emak yang sedang tidur.
Kuberjalan menuju kamarku, mengambil sebuah buku tua ---tak bersampul dan warnanya sudah berubah menjadi coklat--- dan sebuah pensil dengan sebuah karet gelang terlilit diujung bagian atasnya, kujadikan karet itu sebagai karet penghapus.
Setelah mengambil barang-barang itu, langsung kuberlari menuju subuah rumah yang tak jauh dari Jembatan Ampera. Dengan semangat aku berlari, namun semangatku mulai pudar saat orang-orang dijalanan melihatku dengan tatapan jijik.
Sesampainya di depan sebuah rumah yang mempunyai pagar bercat warna hitam dan diding bercat warna krem itu, aku langsung mengucapkan salam sambil terus menahan rasa sakitku.
Assalamu’alaikum!!! Mbak Rika... Ini aku Agung Mbak!!!” teriakku berirama sambil memegang erat buku dan pensilku. Tak ada balasan dari dalam, yang bisa ku dengar hanya suara deru mobil yang melaju kencang ---terlalau kencang, sampai-sampai aku merasa telingaku sudah tuli---. Pandanganku tetap pada pintu rumah Mbak Rika.
Cukup lama aku menunggu hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengucapkan salam sekali lagi. “Assalamu’alaikum!!!” teriakku lebih keras dari sebelumnya, namun masih tak ada jawaban. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa ada secarik kertas lusuh yang tertempel di sisi kiri kotak pos rumah Mbak Rika.
“Bacaannya.....” kataku sambil memicingkan mataku, “maaf ya! Mbak hari ini tak bisa... mengajar... mengajari kalian! Mbak sedang... s..s.. si..... sibuk!” lanjutku yang akhirnya hidung dan keningku kubenturkan menyentuh sisi kotak pos itu.
Rasa kesal sekejap muncul di hatiku, namun apa daya? Mbak Rika tak ada di rumah karena sibuk dan itu artiny aku tak bisa belajar. Ya, aku memang setiap hari belajar pada-nya, karena aku tak sanggup membayar uang SPP jika aku belajar di sekolah. Untunglah, Mbak Rika bersedia mengajariku dan beberapa anak pengamen lainnya.
Tapi setelah kupikir-pikir, ada untungnya juga kalau aku  tak belajar hari ini. AKU BISA CEPAT PERGI MENGAMEN dan akan bisa lebih cepat menemui Emak.
Dengan cepat kuberlari menuju rumahku yang berada di bawah jembatan Ampera, tuk meletakkan buku dan pensilku.
Setibanya di rumah, langsung kuletakkan buku dan pensilku di bawah tumpukan kardus yang menjadi tempat tidurku. Kulihat sebentar Emak yang sedang beristirahat dengan tenang dan langsung berlari sekencang mungkin menuju perempatan jalan yang lumayan jauh tempatnya dari rumahku. Dan yang membuat semangatku mulai patah adalah terik matahari yang menyengat dan luka-lukaku yang mulai membuka mulutnya.
Terus kutahan rasa sakitku dan akhirnya aku sampai di perempatan jalan terdekat. Menunggu lampu merah menyala dan mulai meminta-minta uang. Semua pengemudi mobil maupun motor memberikan uang padaku dengan wajah kasihan melihat keadaanku yang kotor dan penuh luka.
Untunglah sampai suara adzan Ashar  terdengar aku dapat mengumpulkan uang sebanyak Rp 17.000,00. Jadi, kira-kira jika di gabungkan dengan uang tabunganku dirumah jumlah semuanya sekitar.... 100.... Rp 105.000,00 (mungkin).
Karena merasa cukup,  akupun langsung pergi ke masjid terdekat untuk mengerjakan shalat Ashar. Untunglah, di masjid itu tersedia kain sarung untuk orang-orang yang tak menggunakan sarung atau-pun celana panjang, dan beberapa peci untuk orang yang tak sempat membawanya.
Setibanya di situ, langsung kusimpan uangku di bawah salah satu sajadah masjid yang sudah ku hapal tempatnya. Aku yakin tak akan ada orang yang berani mengambilnya, karena ini masjid dan takkan ada orang yang mau memeriksa bagian bawah sajadah, jadi... kecil kemungkinan ada maling di sini. Tapi, entah mengapa aku merasakan akan terjadi sesuatu. Ah... sudahlah... tak usah di pikirkan, batinku sambil melanjutkan berwudhu.
Selesai berwudhu aku langsung mengambil kain sarung yang ada di sebuah lemari disamping pintu masuk. Ku pakai kain itu dan ku pakai pula sebuah peci yang berada di atas tumpukan kain sarung yang berantakan. Setelah tubuhku terlihat rapi, akupun langsung mengerjakan salat Ashar.
Kulirik jam tangan tuaku, waktu sudah menunjukkan pukul 15.41 dengan cepat kulipat kain sarung yang kupakai tadi dan melepas peci yang menempel di kepalaku. Namun sialnya rasa sakitku ditubuhku benar-benar membuatku kesal, hatiku yang tadi telah dingin tiba-tiba panas kembali.
Dengan perasaan sedikit kesal ku singkap sajadah tempatku meletakkan uangku sebesar Rp 37.000,00 tadi. Tanpa melihat kearah sajadah kuraba lantainya, namun.... TAK ADA. Kemana uangku? Ku tolehkan kepalaku dan mulai mencari uangku. Merasa uangku hilang, aku mulai mengacak-ngacak seisi masjid tapi hasilnya? NIHIL. Uangku telah hilang, uangku telah dicuri, apa yang harus ku lakukan? Jika aku pulang tanpa membawa uang, berarti aku tak bisa membeli Emak makanan.
Saat itulah datang seorang ustad dengan sorban tebal melilit lehernya. Kuterdiam dan langsung memperhatikannya, menatapnya dengan pandangan kosong, dan anehnya ia balik menatapku dengan tatapan penuh arti yang tak kuketahui apa maksudnya. Saat aku mulai mengernyit bingung ia tersenyum.
“Kenapa?” tanyaku pelan. Kukira ia tak mendengar ucapanku, tapi ternyata, ia mendengarnya dan balik menanyakanku dengan sebuah kata yang membuatku diam seribu kata.
“Kenapa?” tanyanya. Aku terdiam, sesekali menggosok luka di pipiku. Aku benar-benar bingung, ada apa dengan ustad ini?  batinku. “Ada apa denganmu?” tanyanya seakan tahu apa yang kupikirkan.
“Seharusnya itu jadi kalimatku!” kataku berlagak tegas.
“Kau tak pantas menanyakan dan mengatakan hal itu padaku!” katanya penuh wibawa. “Hormatilah orang yang lebih tua darimu, dan katakanlah apa yang ingin kau katakan!”
Aku terdiam, berusaha mendalami dan memahami kata-katanya. Namun sedalam apapun aku berfikir, aku tak bisa memahaminya dengan jelas. Yang kumengerti hanyalah –lebih sopan kepada orang lain.
“Apa yang kau cari? Apakah kau kehilangan barang?” tanyanya seolah mengerti posisiku. Aku hanya diam dan langsung kujawab ketika ia menaiki alisnya.
“Darimana anda mengetahuinya Pak?” tanyaku dengan kalimat yang lebih sopan dari sebelumnya.
“Mudah mengetahuinya kalau kau menunjukkannya dengan rasa kesalmu dan ruangan yang berantakan ini,” katanya sambil menunjuk sekeliling. Aku tersentak, memperhatikan  dan mulai tersenyum konyol, apa yang kulakukan? Mencari uang sampai membuat masjid berantakan. Dasar bodoh!!! batinku kesal.
Saat itu juga aku langsung bergerak membersihkan dan merapikan masjid ini. Ustad itu tersenyum dan bertanya, “apa yang kau cari?”
“Uang,” jawabku singkat sambil menghentikan gerakanku. Kutatap ustad itu dan langsung melanjutkan membereskan nmasjid ini.
“Berapa?” tanyanya (lagi) dengan suara khasnya yang berwibawa.
“17 ribu dan itu sangat berharga bagiku karena aku gunakan itu untuk membelikan Emakku makanan!” bentakku dengan rasa amarah yang bergejolak.
“Kau harus sabar! Sekarang kau takkan mendapatkannya lagi karena uang itu  telah hilang!” katanya sambil tersenyum.
“Kau telah membuat masjid ini berantakan, dan dari wajahmu aku tahu bahwa kau tak menemukannya,” katanya tenang. Aku terdiam. “Lebih baik sekarang kau pulang ke rumah, atau tidak pergilah bekerja agar dapat mengembalikan uangmu yang hilang!” Lanjutnya. Aku masih tetap terdiam, berfikir sejenak dan langsung berlari ke luar masjid melewati ustad itu begitu saja.
“Assalamu’alaikum!!!” Teriakku sambil berlari kencang. Ia tersenyum dan membalas dengan tenang dan berwibawa, “wa’alaikummussalam!”
Aku terus melanjutkan mengamen hingga baru ku sadari bahwa jam tanganku nsudah menunjukkan pukul 17.47. “Hah? Udah sesore ini?” Pekikku.
Ku hitung uang hasil pencarian (ulang) ku dan akhirnya aku mendapatkan angka yang lebih besar dari sebelumnya, Rp 27.000,00, aku bersyukur dan segera berlari pulang menuju tua-ku.
Dengan masih menahan rasa sakit di tubuhku aku berlari sekencang mungkin. Namun sebelumnya aku mampir ke sebuah toko untuk membeli 2 butir telur ayam dan 1 liter nasi, yang harga totalnya Rp 10.000,00. Tanpa membuang banyak waktu, langsung kuberikan uang itu pada penjaga toko dan berlari menuju rumah.
Tapi, alangkah terkejutnya aku saat memasuki rumah. Aku terkejut setelah menemukan Emak dengan keadaan parah. Darah Emak sudah berceceran di lantai. ‘Emak batuk darah lagi!?’ batinku kaget.
Dengan cepat ku letakkan beras dan telur yang kupegang di atas meja kamar Emak. Kucari obat Emak yang juga berada di atas meja, tapi sialnya obat itu habis. Langsung kuambil uang dalam saku celanaku dan mengambil uang yang terselip di tumpukan kardus di kamarku.
“Emak tunggu aja! Agung mau beli obat dulu!” kataku cepat dan langsung melesat, berlari menuju apotek terdekat. Aku terus membacakan surah-surah pendek dalam hatiku, berharap Emak akan segera bisa ditolong.
Segera kumasuki ruangan apotek itu dengan nafas yang masih terengah. Kulihat antrian masih panjang. Dengan perasaan kesal kutunggu sambil terus mlirik jam apotek, sebentar lagi jam 6!!! batinku panik bercampur rasa kesal dan takut. Dan tak lama setelah itu,...
“Yang berikutnya?!” kata apoteker. Aku melongo dan akhirnya seorang wanita paruh baya di belakangku menyenggolku dan memasang ekspresi kesal. Dengan segera kulangkahkan kakiku menuju kaca yang menghalangi pandanganku untuk melihat apoteker yang melayaniku.
“Ah.... tolong! Cepatlah, aku ingin pesan obat untuk penderita TBC!” kataku cemas dan panik. Apoteker dengan cepat mecatat obat yang kuminta dan samar-samar  kulihat, ia memberikan catatan itu pada seorang temannya.
“Namamu siapa dik?” tanya apoteker itu sopan dan tenang.
“Agung!” jawabku singkat.
“Baiklah... tunggulah dulu. Nanti bisa saya panggil,” katanya sopan. Aku mengangguk cemas.
Kududuk di kursi tunggu, menunggu apoteker itu memanggilku lagi. Tak henti-hentinya kulihat jam dinding di apotek ini dan akhirnya, setelah 5 menit menunggu apoteker itu memanggilku lagi. “Agung!” panggilnya.
“Ya?” langsung kuberjalan menuju apoteker itu. Ia menodongkan sebuah kertas yang tak ku ketahui apa maksudnya.
“Harganya Rp 110.000,00,” katanya. Ku hitung uang yang kupegang, namun karena kaget dengan hitungan pertama, langsung kuulangi lagi hasilnya masih sama.
“Maaf! Anu... bisakah kekurangan uang saya sebesar 5 ribu rupiah dibayar nanti?” tanyaku sopan dengan rasa cemas dan takut.
“Maaf dik, tapi tidak bisa,” katanya sambil mengernyitkan dahinya. Terus kupaksa apoteker itu, namun tak tak ada perubahan sama sekali dengan kata-katanya. Ingin rasanya aku mengambil obat itu tanpa membayarnya.
“Kalau begitu kuambil dulu uangku!” kataku cepat sambil berlari keluar. Kulihat langit sudah menghitam, kota telah dihiasi dengan warna-warni lampu dan sayup-sayup ku dengar suara adzan. Namun suara itu segera menghilang dari pikiranku dan dengan cepat kuberlari meuju permpatan terdekat.
Kesana kemari kumeminta uang disetiap mobil dan motor, namun tak ada yang memedulikanku. Aku mulai pasrah dan ingin menangis. Namun, alangkah terkejutnya aku saat melihat seorang wanita sedang di ganggu oleh 2 orang preman jalanan. Rasa kesal muncul di hatiku, dengan cepat kuberlari menuju orang-orang itu dan bermaksud menolong perempuan itu.
Setibanya di situ aku mulai berlagak seperti orang miskin yang sudah sakit-sakitan dan meminta uang makan. Awalnya 2 preman itu tak memedulikan kehadiranku. Namun, mereka mulai merasa jengkel ketika aku mulai berteriak dan menarik baju mereka. Dengan cepat mereka berlari setelah melihat orang-orang orang disekitar kami sudah memperhatikan dengan kesal. Aku bernafas lega, begitu juga dengan wanita itu.
“Dik... terima kasih... terima kasih telah menolongku,” jeritnya sambil menjabat tanganku. Langsug kutersentak ketika mengingat Emak.
“Ah... anu kak, namaku Agung, maaf kalau lancang tapi... maukah kakak mengabulkan permintaan kecilku!” kataku sopan. Ia mengubah air mukanya seakan bertanya ‘apa itu?’
Berkat kak Putri ya ku tolong tadi, akhirnya aku bisa membelikan obat pada Emak. Yah... permintaan kecilku tadi hanyalah uang sebesar Rp 5.000,00.
Dengan perasaan senang dan cemas yang bercampur, aku langsung berlari menuju rumah. Namun alangkah terkejutnya aku ketika melihat rumahku telah ramai di penuhi orang, bahkan beberapa adalah orang kaya dan mereka membawa bunga.
“Apakah kalian kesini untuk menjenguk Emakku?” tanyaku pada salah seorang teman Emak. Namun bukannya menjawab ia malah menangis tersedu. Merasa ada hal aneh, aku langsung berlari memasuki kamar Emak. Saat itulah aku langsung menangis tersedu dan tanpa kusdari mulutku terbuka dan mulai berteriak “EMAK!!! Mak... sadar Mak! Emak jangan tinggalin Agung Mak!” Teriakku tersedu.
“Gung.... sabar Gung! Emakmu sidah tiada,” kata seorang teman Emak, dia terlihat seperti orang kaya dan aku (?) terlihat seperti orang gila.
“PERGI KALIAN!!! Kau orang kaya dan kau teman Emak! Tapi kenapa? KENAPA? Kenapa kau tak menolong emak? Kenapa.. kena... KENAPA????” Teriakku terisak. Semua terdiam dan memandangiku dengan tatapan bersalah. Aku balik memandang mereka dengan tatapan penuh kebencian dan dendam, namun saat melihat seorang ustad yang pernah ku temui tiba-tiba amarahku mereda dan entah mengapa kesadaranku perlahan mulai menghilang......

Sudah 1 bulan berlalu sejak kepergian Emak. Rasanya aku tak bisa mempercayai hal itu dan akupun merasa hal itu hanyalah mimpi belaka.
Hari ini aku pergi berziarah ke makam Emak dan sekarang aku tinggal di sebuah panti asuhan di dekat perkuburan Emak. Aku tak akan pernah melupakan hari kepergian Emak. Seandainya hari itu aku tak kehilangan uang, seandainya apoteker itu memberiku kesempatan untuk membayar kekurangan uang itu dilain waktu, DAN SEANDAINYA SAJA HARI ITU AKU MENYUSUL EMAK.
Sedih rasanya aku memikirkan hal itu, namun sekarang sudah terlambat dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Sejak kepergian Emak  yang disebabkan oleh penyakit “ITU” sekarang aku sudah membulatkan tekad untuk menjadi seorang DOKTER PARU-PARU, agar tak ada lagi orang yang meninggal seperti Emak.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 My Simple Story - Gumi - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -