Posted by : Moneta Kamis, 09 Februari 2012


TIPUAN KECILKU
Karya Moneta

Hari ini aku bangun dengan semangat. Sedari tadi kudengar suara gedoran pintu yang sepertinya diketuk oleh induk semang-ku. Yah, aku tinggal di sebuah kos-kosan yang ada Di Pangkal Pinang ini.
Kuberjalan menuju pintu ruangan ini dengan perasaan sedikit takut. Induk semangku ini memang suka marah-marah jika ia tak pernah didengar atau dihiraukan.
Dok... dok... dok.... suara ketukan pintu atau bisa di bilang gedoran itu semakin keras terdengar. Dengan cepat kubuka pintu, dan....
“APA KAMU ITU TULI?!” Teriaknya. Aku hanya bisa menunduk karena ketakutan.
“Ma... maaf, semalam aku tidur la....” belum selesai aku berbicara tiba-tiba....
“SEKARANG BAYAR UANG KOS!!!” Teriaknya keras.
“Tapi, Mbak Tika aku masih belum punya cukup uang,” kataku sambil tersenyum simpul dan menggosok belakang kepalaku.
“Huh.... OK Fine Mbak tunggu 1 minggu lagi,” kata Mbak Tika sambil menggosok kening kepalanya yang berkerut. Aku hanya tertawa kecil saat melihatnya berbicara dengan cara yang sedikit di buat lebay. “Oh... iya, kamu sekarang masih belum sekolah?” tanya Mbak Tika sambil berjalan menjauh.
“Ah... iya,” kataku yang sebelumnya sempat tersentak, terdiam, dan mengenang masa sekolahku. Sudah 1 tahun berlalu sejak aku lulus dari SD, dan aku berhenti sekolah sejak orangtuaku mengalami kecelakaan.
Segera kulupakan hal itu dan langsung menutup kembali pintu kamar kos ini saat Mbak Tika tak lagi terlihat. Aku pergi ke toilet untuk segera mandi. Dan selama aku mandi, aku terus memikirkan bagaimana caraku mengumpulkan uang agar aku bisa bersekolah kembali. Aku sempat putus asa saat memikirkan hal itu, tapi segera kubuang pikiran itu saat aku melihat dan memikirkan lebih banyak anak yang tak seberuntung aku yang masih bisa tinggal di kos-kosan sederhana ini.
Selesai mandi aku segera memakai bajuku yang semuanya sudah tua dimakan usia, tentu saja ini adalah baju milik ayah dan ibu. Aku memiliki kepribadian seperti Ibu, tomboi, keras kepala, namun dapat dengan cepat belajar dan beradaptasi.
Segera kuberlari menuju toko kelontong milik teman Ayah yang sebenarnya merupakan tempat kubekerja. Di sana aku bekerja sebagai kasir dan setiap harinya hanya di gaji 10 ribu.
Tapi sialnya, hari ini toko itu tutup dan aku tak tahu apa yang harus ku kerjakan agar bisa mendapatkan uang dan membayar uang KOS. Jika aku pergi ke klub sulapku, aku pasti akan diusir karena tak mampu membayarupah belajar. Hingga tiba-tiba sebuah ide gila terbersit di kepalaku.
Segera kuberlari menuju pasar di pusat kota, di sana aku akan melakukan pertunjukan sulap untuk menarik perhatian orang-orang dan akan meminta uang layaknya seorang penyanyi jalanan. Topi milik Ibu yang sebenarnya sudah lama ku pakai akan ku gunakan sebagai sarana penyimpan uang.
Sesampainya di sebuah perempatan jalan di pasar, yang tak bisa di lalui kendaraan selain sepeda itu, aku langsung menarik perhatian mereka dengan terus berteriak memanggil orang-orang untuk berkumpul di sekelilingku hingga akhirnya aku memulai pembicaraan, “APA KALIAN INGIN MELIHAT SEBUAH SULAP?!” teriakku.
Awalnya banyak yang tak merespon dan bahkan banyak yang menjauh, tapi semuanya mulai tertarik saat aku memulai pertunjukkan sulapku yang telah ku pelajari di klub sulap.
Aku mengeluarkan sebuah uang koin 500 rupiah dari saku celanaku. Aku mulai memperlihatkan pada mereka bahwa koin itu berada di tangan kananku, lalu dengan cepat kubalik tanganku.
“Menurut kalian dimana koinnya?” tanyaku.
“aha.... aku sering menontonnya, pasti di tangan kiri,” kata seorang bapak-bapak. Namun ketika ku perlihatkan telapak tanganku, koin itu masih ada di tangan kananku. Semua tertawa melihat bapak itu dan bapak itu hanya tersenyum malu.
Kuulangi sekali lagi gerakan tadi dengan cepat dan bertanya, “menurut kalian dimana?”
“Pasti kiri,” kata bapak tadi yang masih percaya dengan jawaban awalnya. Aku tersenyum dan langsung membuka telapak tanganku, tapi apa? Koin itu tak ada, menghilang.
“Lho... kemana?” tanya bapak itu kebingungan. Ku dekatkan tanganku ke rambut bapak itu dan mulai berkata, “benda itu ada di atas kepalamu, di kerumunan rambutmu!” kataku sambil tersenyum senang. Dan di saat bersamaan aku mencabut topiku untuk memulai meminta uang imbalan. Siapa sangka ternyata banyak orang yang melihatku, mereka memberiku banyak uang, ada yang 1000, 2000, 5000 bahkan ada yang memberiku 10000.
Entah apa yang sedang kupikirkan, tetapi sejak kejadian itu aku terus mengamen dengan cara menunjukkan teknik-teknik sulap yang sering ku pelajari di Klub Sulapku dulu. Hingga akhirnya sebuah keajaiban datang ketika aku sedang mengamen di bus sewaan sekolah.
“Hei.... ada yang ingin dihibur?” kata seorang guru. Ternyata bus itu adalah bus sewaan yang sedang mengadakan refreshing ke pantai. Aku yang sekarang sudah berpindah tempat dari pasar ke dalam bus tak sengaja berada di bus itu. Untunglah kernetnya adalah salah satu teman Ibu, jadi aku bisa minta izin padanya.
“Mau!!!” Teriak anak-anak SD itu girang. Aku tersenyum melihat tingkah polos mereka yang membuatku mengingat masa sekolahku dulu.
“Nah, sementara kita menunggu perjalanan sampai ke pantai, kita akan memperlihatkan sebuah aksi menakjubkan,” kata guru itu lagi. Aku berdiri sambil terus menatap ke luar jendela.
“Apa Bu?” tanya seorang anak perempuan.
“Baiklah, silahkan dik!” kata guru itu mempersilahkanku. Aku berdiri di depan mereka, berusaha berdiri agar tubuhku tak oleng oleh pengaruh jalan.
“Nah... adik-adik, sekarang kakak akan melakukan sebuah aksi,” kataku girang sambil menatap mereka satu persatu.
“Sulap ya kak?” tanya seseorang.
“Bukan!” jawabku mantap.
“Yah.... lalu apa?” tanya yang lain mengeluh.
“Sebelum itu kakak minta seorang sukarelawan!” kataku dengan suara yang sedikit di buat manja. Dengan cepat semua anak mengangkat tangan, semua begitu antusias dengan tawaranku. Tapi, saat melihat seorang anak perempuan yang sedang melamun dan sebenarnya terlihat tak senang dengan semua ini.
“OK! Cewek cantik yang duduk paling belakang sana!” kataku sambil menunjuk dirinya. Ia tak merespon, semua terdiam dan langsung memperhatikannya dan ia masih tak merespon hingga seorang temannya berkata padanya.
“Oi.... kamu dipilih kakak tuh,” kata temannya sedikit malas, dan dari hal itu aku tahu bahwa anak ini sebenarnya merasa tak senang karena ia tak bisa mengakrabkan diri dengan yang lain.
“Untuk apa diladeni?” katanya acuh tak acuh. Merasa tersindir, aku langsung menarik tangan anak itu. Ia terlihat seperti orang kaya yang miskin, yah... miskin otak.
“Jangan pegang aku dengan tangan kotormu!” katanya lantang. Seorang pria paruh baya yang sepertinya ia adalah bodyguard dari anak ini langsung mendongak dan mencari asal suara.
“Baiklah gadis kecil kau boleh duduk,” kataku jengkel sambil mendekap lehernya. Dengan cepat kubuka dan kutarik kalung miliknya, dan tentunya ku lakukan itu dengan capat agar ia tak menyadarinya, sekejap semuanya langsung bertepuk tangan ketika gadis itu duduk.
“Wah.... cepat sekali kak!” kata seorang anak perempuan yang lain. Dan saat itulah aku melihat ekspresi anak itu berubah.
“PENCURI!!!” jeritnya. Dengan cepat gurunya menenangkan gadis itu, namun ia masih terus menuduhku pencuri. Kali ini ku dekap lehernya dengan kedua tanganku, dan bersamaan dengan hal itu, aku langsung memasangkan kembali kalung miliknya di lehernya.
“LHO... Siapa yang mencuri?” kataku sambil tersenyum licik.
“Bohong... kau pasti cuma membuatku merasa bahwa kalung ini melekat di leherku dengan cara.........” belum selesai ia berbicara aku langsung melepaskan tanganku dan mengangkat bahuku.
“Siapa?” tanyaku.
“Eh...” katanya kebingungan, ia menarik kalung miliknya dan merasa bahwa ia benar-benar telah tertipu. Dengan wajah memerah ia melepaskan tangannya dari kalungnya dan melihat ke luar jendela. Wajahnya benar-benar merah dan matanya berair.
“Nah.... nanti kita lanjutkan lagi, sementara semuanya boleh makan snack dulu!” kata gurunya. Aku kembali duduk ke kursi dan mulai tersenyum jengkel. Tapi tiba-tiba seorang pria paruh baya yang tadi kusebut sebagai bodyguard gadis tadi membisikkan sebuah kalimat padaku.
datanglah ke alamat ini besok lusa,’ katanya pelan sambil menyodorkan sebuah kartu. Aku melihat dan membaca isinya lalu tercengang melihat pria itu.
Besok lusanya aku datang sesuai keinginannya ke alamat yang ia berikan, dan alamat itu benar-benar membuatku terkejut. Di situ ada pesta ulang tahu besar-besaran. Awalnya aku merasa bahwa aku salah alamat, tapi sudah hampir 10 kali aku menanyakan dengan orang-orang sekitar dan alamat itu benar. Hari ini aku mengenakan pakaian serba hitam, dan juga topi kesayanganku peninggalan dari Ibu.
Saat masuk, aku sempat merasa malu, tapi semua itu mendadak hilang saat aku bertemu dengan pria paruh baya kemarin. Kusapa ia dan ia langsung berlari menujuku dengan senyuman menghiasi wajahnya.
“Acara apa ini?” tanyaku langsung.
“Ini ulang tahunnya tuanku,” katanya sambil mempersilahkanku duduk. Setelah itu ia mulai menceritakan semua kejadian yang terjadi dan semua hal yang harus kulakukan
Hal yang harus kulakukan adalah menghibur semua orang di acara ini sebagai acara penutup. Mereka akan membayar sebanyak apapun yang kiminta. Kusanggupi hal ini demi kesenangan anak perempuan yang kemarin sempat membuatku kesal.
Waktu semakin berlalu dan akhirnya sampai pada sebuah acara mendebarkan. SULAP
“Baiklah.... kita sambut seorang pesulap  jalanan, Egi!” teriak sang MC dan keluarlah seorang anak laki-laki biasa.
“Baiklah... karena kemampuan sulapku masih rendah, akan kutunjukkan beberapa sulap yang kutahu,” kata Egi percaya diri. Ia mengeluarkan sebuah tali panjang dan memanggil seorang suka relawan yang mengenakan cincin.
Setelah itu ia menyuruh sukarelawan itu melapas cincinnya. Cincin itu di letakkan di atas telapak tangan pemiliknya, dan sebelumnya ia menyimpul mati tali panjang miliknya. Di letaknya tali itu di sebelah cincin dan ia langsung menutupnya. Ujung tali itu terlihat jelas menjuntai, di masukkannya tangannya ke balik kain. Sesekali ia menggosok tangannya yang berada di atas tangan sukarelawan itu yang juga terbungkus kain dan....
“TARA!!! Tiba-tiba cincinnya masuk ke tali,” katanya girang, semua penonton bertepuk tangang.
“Hah... tipuan kecil. Dia cuma memasukkan simpul tali itu ke lubang cincin, lalu menariknya dengan ibu jari dengan cepat. Orang akan percaya begitu saja karena mereka yakin cincin itu tak akan masuk jika tidak di masukkan lewat ujung tali,” kataku malas sambil terus menonton aksinya.
“Wah... kau hebat,” kata seorang anak perempuan. Langsung ku alihkan pandanganku, ku lihat ia sangat senang melihat pertunjukkan sulap ini, tapi yang membuatku terkejut adalah wajahnya yang mirip dengan anak nakal di bus kemarin.
“Wa! Jadi kau yang kemarin?” tanyaku tegas. Ia tak menjawab tapi hanya tersenyum polos.
“Eh... kalau sulap kartu itu bagaimana?” tanyanya sambil menunjuk seorang pesulap lain yang menggunakan kaca mata hitam.
“Oh... itu sih karena dia sudah menandai kartunya,” kataku santai sambil menutupi wajahku dengan topi.
“Tapi kartu itu kelihatan baru dan tak terlihat sama sekali ada coretan,” katanya smabil mengernyitkan dahi.
“Ia menggunakan cairan semacam tinta yang hanya terlihat dalam keadaan gelap. Jadi jika ia menyuruh sukarelawannya untuk menarik kartu itu dan jangan memperlihatkan bagian depan saja, dia hanya melihat bagian belakang yang sudah di tandai, maka dia bisa menebak kartu apa  yang di ambil sukarelawannya dengan melihat tanda itu melalui kacamata hitamnya, itu adalah tipuan kecil yang dibuat oleh orang yang tak mengerti sulap kartu,” kataku malas.
“Wah... kamu hebat bisa tahu rahasia sulapnya,” kata gadis itu girang. Entah mengapa aku merasa anak ini bukanlah anak yang ku temui kemarin. “Darimana kau mengetahui semua trik itu?” tanyanya lagi padaku.
“Yah, aku ikut Klub Sulap yang ada di kota ini dan aku merupakan senior, tapi karena tak punya uang latihan aku berhenti belajar. Karena kesal aku belajar sendiri dengan memanfaatkan kecepatan tangan, makanya aku bisa dengan mudah mengambil kalungmu seperti kemarin,” kataku malas. Ia kaget, lalu mengernyitkan dahi.
“Baiklah, yang terakhir.... pesulap jalanan bernama RIA!!!” teriak sang MC. Aku tersadar dan langsung naik ke atas panggung. Ku ambil mic yang diberikan oleh MC dan mulai berbicara.
“Sekarang aku tak akan melakukan sulap, tapi ku akan berperan sebagai pencopet,” kataku tajam. Semua terpesona mendengar kata-kataku dan mulai memperhatikanku dengan serius.
“Baiklah... siapa yang mau jadi sukarelawan?” tanyaku kencang. Seorang Ibu dengan kalung mahal menjuntai di lehernya mengangkat tangan dengan antusias. Kupersilahkan ia untuk naik ke atas panggung, dan kulakukan hal yang sama padanya dengan gadis di bus kemarin. Tepuk tangan meriah kudapatkan, dan merasa kurang ku pilih sukarelawan lain.
“SIAPA BERIKUTNYA?” teriakku, seorang laki-laki paruh baya mengangkat tangannya, ku lihat ia memiliki jam tanganyang terlihat mahal dan sangat mencolok.
“Ah.. Pak... perkenalkan namaku Ria,” kataku sambil menjabat tangannya dengan keras. Dengan wajah kebingungan ia menatap wajahku dan dengan cepat ku ambil jamnya. Semua bertepuk tangan dan segera ku kembalikan jam tangan itu tanpa sepengatahuannya.
Ku lakukan berbagai cara mencopet lainnya, namun walaupun begitu keahlian mencopetku itu tak pernah ku lakukan selain untuk menhibur.
“Baiklah... sebagai penghujung acara marilah kita sambut Eva dan Evi!!!” kata sang MC antusias. Dan saat itulah 2 orang gadis kembar menaiki panggung, awalnya aku tak mengetahui siapa gadis itu hingga aku melihat kalung yang menjuntai di lehernya.
“UAPA? Jadi kau gadis di bus kemarin?” teriakku kaget. Gadis berkalung tadi membuang muka.
“Maaf... yang tadi berbicara mengenai trik sulap itu aku, dan dia adalah saudara kembarku Eva yang kau temui di bus kemarin,” kata Evi sambil tersenyum simpul. Akhirnya setelah semua penjelasan dari Evi aku dapat mengerti situasi yang sebenarnya dan dapatkembali menunjukkan hal-hal spektakuler kepada semua tamu.
Dan setelah acara berakhir aku dapat mengakrabkan diri dengan Eva dan Evi, bahkan sekarang aku menjadi guru sulap mereka. Tapi sebelumnya, Eva dan Evi mengatakan bahwa mereka akan segera pindah ke Jakarta, maka dari itulah mereka begitu antusias belajar Sulap.
Beberapa hari kemudian mereka pergi ke Jakarta dengan meninggalkan uang dan surat ke rumah kos-ku. Dan.. hidupku kembali seperti biasa lagi.
Namun suatu hari...
“Hei.... apa benar ini rumah adik Ria?” tanya seseorang yang berseragam rapi.
“Ya, saya sendiri,” balasku sopan.
“OK! Baik dek... kami akan segera jelaskan maksud dan tujuan kami datang kesini!” kata ia cepat. Kupersilahkan ia masuk dan ternyata ia membawa 5 orang temannya, dan di dalam ruangan kosku yang sempit mereka menjelaskan semua hal-hal yang membuatku tercengang.
Ternyata, saat berada di Jakarta Eva dan Evi datang ke studio TV dan mengatakan mengenai bakatku. Orang-orang dari studio itu tertarik dan mendatangiku di Bangka Belitung. Aku di rekrut untuk membuat sebuah film mengenai kehidupanku dsebelumnya hingga menjadi seorang pesulap. Tapi selain itu, ternyata Evi mengatakan bahwa aku ini bisa menjadi seorang pembawa acara TV.
Sejak saat itulah nasibku berubah, aku di ajak tinggal di Jakarta, dan tinggal bersama keluarga Eva dan Evi. Pekerjaanku menjadi seorang pembawa acara benar-benar membuatku semangat untuk belajar sulap. Dan tentu saja di Jakarta orang-orang studio itu telah mendaftarkanku ke sebuah SMP dan mereka telah menyesuaikan jadwal TV-ku dengan jadwal sekolahku.
Kehidupan baruku terbit. Hanya dengan tipuan kecilku, hal itu telah membawaku ke panggung dunia yang merupakan awal dari perjuanganku.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 My Simple Story - Gumi - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -