Posted by : Moneta Senin, 21 Januari 2013



Cerpen ini udah lama gue buat, cuma belum gue publish aja.
Happy Reading :D

ALASAN
Karya Moneta

Jantungku berdegup kencang. Tinggal 5 menit lagi menjelang pengumuman juara dari lomba ‘Duta Santasi’, lomba ini punya 2 cabang. Membuat poster dan  karya tulis. Aku sebagai murid kelas 8 SMP mengikuti cabang membuat poster. Dari lomba ini penilaian yang diambil adalah nilai gambar dan presentasi dalam isi poster tersebut. Beruntung aku dapat melewati lomba itu.
 Sedari tadi aku hanya diam, melihat guru pembimbingku berbicara dengan sahabatku, Lia. Jujur, aku iri padanya. Baiklah, kuakui kemampuan menggambar dan mewarnainya jauh diatasku. Tapi, setidaknya aku sudah berusaha. Guru pembimbing kami, Bu Nur selalu melihat Lia. Tak pernah sekali pun beliau melirikku. Dulu aku dan Lia sudah sering mengikuti lomba menggambar bersama, tapi tetap saja dia ada di atasku. Saat peringkat yang ia dapat selalu peringkat 1, aku selalu menyusul di bawahnya, entah itu peringkat 2, 3 atau bahkan harapan 1. Walaupun sering mengalami kenaikan, Bu Nur tak pernah melirikku. Bahkan untuk mengucapkan selamat pun tak pernah. Selama ini aku selalu berusaha keras agar Bu Nur melirikku. Tapi selalu saja gagal.
Aku kesal, aku iri, dan aku ingin sekali mengalahkan Lia. Dia sahabatku, tapi dia juga rivalku. Tadi saja saat lomba, aku tak pernah menanggapi omongannya. Sekarang sedang lomba, artinya dia rivalku. Kenapa dia harus mengajak bicara rivalnya.
“Bu, tadi waktu mempresentasikan poster. Si Lia gugup banget, jadi agak kacau, padahal posternya bagus,” sahut Danu, salah satu temanku yang juga mengikuti lomba membuat poster dalam rangaka pemilihan ‘Duta Sanitasi Babel’ ini.
“Aduh… sayang sekali,” nada kecewa keluar dari mulut Bu Nur.
“Iya, Bu. Tapi, si Meta presentasinya bagus, lho, Bu!” bela temanku, Oji. Jujur, mendengat pujian dari Oji, membuatku tersanjung.
“Begitu,” sahut Bu Nur datar. Astaga, hanya dengan 1 kata saja hatiku seakan-akan sudah hancur. Kenapa? Kenapa Bu Nur tak pernah melirikku? Saat semua temanku memujiku dan merasa kecewa pada Lia, beliau malah lebih kecewa padaku. Tunggu, bahkan ia tak menanggapi. Tak ada rasa kecewa ataupun senang dinada bicaranya. Aku hanya menunduk dan menggigit bibir bawahku, menahan kesal.
Baiklah… semuanya inilah saat yang ditunggu-tunggu. Pengumuman pemenang sekaligus anak-anak yang akan menjadi Duta Sanitasi dari Babel,” suara pembawa acara itu menggema di dalam ruangan ini. Aku mendongak semangat, kali ini aku sangat yakin bisa mengalahkan Lia. Yah, walaupun begitu aku juga yakin setidaknya hanya mendapatkan juara 3.
Pertama-tama kita umumkan juara karya tulis. Juara ketiga adalah… Linda dari SMP N 12 Pangkal Pinang.” Bu Nur menjerit senang ketika nama kakak kelasku disebut. Kak Linda perlahan maju ke podium.
Juara kedua adalah Rara dari SMP N 12 Pangkal Pinang.” Kali ini aku pun ikut menjerit bersama teman-temanku dan Bu Nur, saat sekali lagi nama kakak kelasku di sebutkan. Kak Rara maju ke podium menyusul Kak Linda.
Dan juara pertama adalah Sinta dari SMP N 3 Sungailiat.” Jeritan dari anak-anak SMP itu terdengar, dan gadis bernama Sinta itu pun perlahan maju ke podium.
Nah… berikutnya adalah lomba poster. Juara ketiga adalah Umi dari SMP 2 Koba.” Sebuah gambar poster terpampang jelas di layar LCD di sebelah podium. Saat itu juga tubuhku lemas, juara 3 yang tadi sempat kuidam-idamkan gagal kurebut. Aku hanya tertunduk lemas. Teman-temanku hanya diam menunggu pengumuman selanjutnya.
Gambar yang ada di layar LCD berganti.”Juara kedua adalah Meta dari SMP 12 Pangkal Pinang.” Aku terlonjak kaget dan mendongak, mendapati gambar posterku yang biasa-biasa saja itu terpampang jelas di layar LCD. Ingin menangis rasanya saking senangnya. Teman-temanku menjerit kecil dan mulai mendorongku untuk maju ke podium. Dengan bangga aku maju, namun aku sedikit kesal melihat ekspresi Bu Nur yang sama sekali tak menunjukkan rasa bangga ataupun senang. Malah, ekspresi yang ia tunjukkan terkesan kecewa.
Juara pertama adalah Lulu dari SMP N 4 Sungailiat.” Sukses besar. Tak ada satu pun murid dari SMP-ku yang berhasil mendapatkan juara 1. Tapi, setidaknya kali ini aku sukses mengalahkan Lia. Bagaimana tidak? Dia sama sekali tak mendapatkan juara, ini lomba nasional dan aku berhasil. Walaupun tak berhasil mendapatkan juara 1, setidaknya aku bisa menjadi duta dari Babel. Dan sekali lagi aku kesal, ketika Bu Nur sama sekali tak menoleh padaku. Beliau terus saja menoleh pada 2 orang kakak kelasku.
Setelah pengumuman itu, kami diberikan sebuah plakat kemenangan. Begitu bangganya aku mendapatkan benda itu. Kami difoto dan mendapatkan ucapan selamat oleh beberapa orang terkenal dari Babel, termasuk duta sanitasi tahun sebelumnya. Yes, akhirnya aku berhasil mengalahkan Lia.
***
“Selamat, ya!” sahut Lia sambil mengulurkan tangannya. Aku menyambut tangannya dan memberikan senyuman meremehkan.
“Aku berhasil mengalahkanmu,” sahutku senang, Lia tersenyum geli. “Tapi, kenapa Bu Nur masih tetap melihatmu?” lanjutku dingin dan melepaskan jabat tangannya.
“Meta,” panggil Lia dengan nada serius begitu juga mimik wajahnya.
“Apa?” balasku ketus.
“Aku hanya mau tanya, apa alasanmu berjuang untuk mengalahkanku? Selama ini kau terus berusaha mengalahkanku walaupun selalu gagal. Jujur aku senang melihatmu berusaha, tapi aku mau tahu apa alasanmu berusaha?” tanya Lia sambil melipat kedua tangannya di dadanya.
“Hah? Alasannya? Tentu saja untuk mengalahkanmu,” balasku cepat.
“Pantas saja.”
“Apa maksudmu?” tanyaku dengan nada tinggi.
“Kuberitahukan padamu Meta. Kurasa Bu Nur tahu alasanmu berusaha, makanya beliau tak pernah melihat atau melirikmu,” balas Lia dengan nada dingin.
“Kalau bicara itu jangan bertele-tele. Katakan dengan jelas!” teriakku kesal.
“Baiklah, kuberitahukan dengan jelas padamu. Alasanmu itu Meta. Bu Nur sama sekali tak suka dengan alasanmu berusaha. Bu Nur suka dengan murid yang berusaha, tapi bukan dengan alasan konyol seperti untuk mengalahkan lawan. Oke, kurasa alasan itu juga perlu, tapi alasan yang sebenarnya diinginkan Bu Nur adalah….,” ocehan Lia menggantung, membuatku penasaran dengan lanjutannya.
“Bu Nur ingin kau berusaha demi semua orang yang kau percaya. Beliau tak ingin kau berusaha hanya demi beliau melirikmu. Beliau ingin kau berusaha dari dalam hatimu. Karena kau ingin berprestasi dan membuat semua orang bangga. Apa kau tahu seberapa senangnya beliau melihatmu selalu berusaha saat ekstrakulikuler diadakan? Lalu apa kau tahu seberapa kecewanya beliau padamu? Beliau kecewa padamu yang hanya ingin membuat beliau melirikmu! Beliau kecewa padamu yang berusaha hanya setengah-setengah!” bentak Lia. Aku terdiam memahami semua kalimatnya.
“Jujur, sekarang pun aku kecewa padamu. Kau bukan lagi Meta yang dulu, Meta yang selalu berusaha bersamaku, Meta yang selalu mendukungku. Apa kau lupa? Dulu gambarmu bahkan lebih bagus dari gambarku, tapi aku terus berusaha untuk bisa mendapatkan pujian darimu, mendapat pujian dari orang-orang yang kupercaya. Membanggakan mereka! Orang pertama yang kuharapkan bisa memuji gambarku adalah kamu. Tapi apa reaksimu saat semua orang memuji gambarku? Kau mengejekku, kau bilang gambarku seperti coretan anak kecil. Aku kesal dan terus berusaha mendapatkan pujian darimu, tapi sampai sekarang tak pernah sekali pun aku mendapatkan kalimat pujian darimu,” bentak Lia lebih keras. Aku semakin terdiam. Benarkah aku seperti itu.
“Meta. Tak kusangkan gara-gara perebutan juara persahabatan kita harus berakhir seperti ini. Aku kecewa padamu. Baiklah, sekali lagi aku ucapkan. Selamat sudah mengalahkanku, dan selamat tinggal karena telah mengecewakanku,” lanjutnya pelan, lalu berlalu. Aku masih terdiam. Aku orang seperti itukah? Sedangkal itukah pikiranku? Demi mengalahkan Lia aku telah membuang hatiku dan persahabatanku?
 Aku masih diam. Sedari tadi aku mengatur nafasku yang tak beraturan karena kaget mendapat bentakan dari Lia. Ini pertama kalinya aku mendapatkan bentakan dari sahabatku itu.
“Lia, maafkan aku!” lirihku. Dan saat itu juga air mataku mengalir. Air mata yang kuharap membawa semua keegoisanku. Membuang jauh-jauh semua prasangka buruk dalam hatiku.
“Maafkan aku! Maafkan aku! MAAFKAN AKU LIA!!!” aku menjerit kesal. Betapa bodohnya aku. Kenapa aku harus mengikuti keegoisanku? Kenapa? Lia. Terima kasih, kau telah membuka hatiku. Walaupun aku tahu hubungan kita tak akan sebaik sebelumnya, tapi tetap saja aku menyanyangimu.
“Terima kasih, gambarmu bagus!”

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 My Simple Story - Gumi - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -